Selasa, 03 Agustus 2010

AJISAKAw

...alkisah kerajaan Medhang Kamulan tengah merayakan 12 tahun tumbangnya prebu Dewatacengkar yang dikalahkan oleh ksatria muda bernama Ajisaka setelah 30 tahun lebih kediktatorannya menguasai Medhang Kamulan dan tentusaja memakan banyak korban pula, saat Prabu Dewatacengkar tumbang banyak yang meramalkan bahwa jaman keemasan telah tiba dan Prabu Heru Cokro sang ratu adil, sang satriyo piningit juru selamat yang memenuhi mimpi rakyat konon akan segera datang dan utopia rakyat akan menjadi kenyataan walaupun tidak sedikit pula para winasis yang tampaknya tenang-tenang saja dan tidak terbawa euforia tumbangnya sang diktator Dewatacengkar. 12 tahun lewat, seharusnya sekarang rakyat Medhang Kamulan sudah dalam kondisi yang tata tentrem karta raharja dalam kepemimpinan sang Ajisaka yang digadhang-gadhang sebagai sang Heru Cokro namun nyatanya tidak demikian, dalam kepemimpinannya sang Ajisaka tentu pusing tujuh keliling kalo hanya sendirian karena rakyat Medhang Kamulan terkenal wangkal, seneng ngeyel dan sulit ditata namun juga sedikit bloon dan gampang diapusi alias ditipu sehingga sang Ajisaka memerlukan para pembantu untuk menjalankan fungsi pemerintahannya. Sang Ajisaka seringkali terlalu sibuk untuk urusan-urusan yang terlalu remeh temeh semacam tabung gas yang kerap meledak ataupun tentang sekolahan rakyat yang dindingnya mau ambruk, maka sang pembantu yang bernama Dora dan Sembada ditugaskan untuk memback-up tugas-tugas tersebut. Sang Ajisaka yang merupakan seorang raja gung binathara merupakan personifikasi Tuhan bagi rakyatnya dalam perspektif pemerintahan tradisional terlebih lagi rakyat telanjur percaya dengan legenda Heru Cokro sang penyelamat yang dikirim Tuhan sehingga makin mantaplah keyakinan rakyat. Namun disisi lain sebagai perpanjangan tangan sang raja Dora dan sembada seringkali tidak sensitif dengan permasalahan rakyatnya, mereka yang seharusnya menjadi corong dan penyambung lidah rakyat dam mewakili mereka duduk dan mengutarakan keluh kesahnya dihadapan Raja justru seringkali mletho dalam bertindak dan lebih mementingkan urusan diri mereka sendiri, manunggaling kawula gusti dalam konteks pemerintahan seharusnya dapat mereka wujudkan dengan cara ikut memahami apa yang menjadi kehendak rakyatnya kemudian bersama-sama mencari jalan keluarnya karena toh sang Raja adalah personifikasi Tuhan jadi sudah sewajarnya sang Raja juga nulad apa-apa yang menjadi sifat Tuhannya yang serba maha asih bagi yang dinaunginya. Dora dan sembada senantiasa sibuk bertikai tentang masalah anggaran yang selalu saja kurang dan meminta rakyatnya untuk selalu percaya dan memaklumi bahwa kerja mereka berat sehingga toh wajar kalau selalu minta sokongan dana, padahal disisi lain rakyat Medhag Kamulan sudah sangat muak dengan perilaku mereka tapi apa mau dikata, sekarang Sang Ajisaka mulai sulit ditemui secara langsung oleh rakyatnya tanpa erantara abdi-abdi brengseknya yang selalu saja menjual janji namun samasekali tidak perbah ditepati, Sang Ajisaka boleh jadi lupa bahwa ada satu hal yang juga tidak kalah kuat dari kuasa yakni legitimasi yang tanpanya kedudukannya tak ubahnya seorang penjajah dinegerinya sendiri sehingga saking jengkel bahka saking frustasinya pada keadaan yang tak kunjung membaik rakyat Medhang Kamulan mulai menampakkan sifat aslinya yang wangkal, mau menang sendiri dan susah diaturnya. Karena aparat kerajaan dinilai tidak tegas maka rakyat mulai bertindak sendiri-sendiri dalam mengatasi setiap permasalahannya mulai dari tingkat birokrasi hingga masalah keseharian mereka yang celakanya cenderung destruktif lha bagaimana tidak wong dulu Medhang Kamulan lama dipimpin oleh Prabu Dewatacengkar yang seorang raksasa yang haus darah sehingga lambat laun disadari maupun tidak rakyat Medhang Kamulan tertular virus jahat tersebut, apalagi ternyata anten-antek Dewatacengkar masih banyak yang hidup dan terus menyebarka pengaruh busuknya lewat sekian banyak pintu...maka sampai detik ini sesungguhnya kerajaan Medhang Kamulan belum benar-benar merdeka dan rakyatnya bertambah bodoh karena pertikaian antara Dora dan Sembada belum juga tuntas, meskipun ada ramalan yang mengatakan bahwa kelak mereka berdua akan sampyuh alias mati semua dan kematian mereka berdua akan menjadi inspirasi munculnya huruf baru yang bisa dibaca sebagai permulaan sejarah baru dan sang Ajisaka akan menyesali karena seharusnya dia bisa bawalaksana dalam memerintah alias tidak plinplan apalagi harus pake utusan segala namun cerita kemerdekaan Medhang Kamulan tampaknya masih jauh dari kata usai dan negara tetap dalam anarki....ha...na...ca...ra...ka...da..ta..sa..wa..la..pa..dha..ja..ya..nya...............................

Minggu, 25 Juli 2010

SUDIRMAN DAN CHE

Dirman, Sudirman berwajah kuyu bak pegawai negeri tanggung bulan yang terpaksa mengingkari nuraninya, matanya nanar menatap kejauhan. Sejauh matanya memandang tampak lanskap luas menghijau yang sesekali diselingi semak, persawahan dan tegalan serta deretan rumah-rumah pepohonan pinus tumbuh dalam beberapa kelompok menjadikan tanah itu hampir bagaikan lukisan Van Gogh tentang pemandangan di Arles Perancis dengan pepohonan cemaranya yang terkenal. Seharusnya semua itu membuatnya tersenyum tapi tidak lagi karena beberapa waktu kemarin terdengar kabar buruk bahwa tanah ini dilelang, ya dan itu berarti kembali kapital berbicara melesakkan berbagai kemungkinan yang sebelumnya dianggap mustahil. Kemudian Dirman kembali teringat tanah ini dahulu begitu penuh inspirasi bahkan mungkin seperti Sierra Maestra dimana Guevara menyusun revolusinya seharusnya tanah ini lebih bermakna karena bahkan saat Che merencanakan 26 Julinya tanah ini telah lebih dulu melahirkan heroismenya dalam mengganyang imperialis semasa agresi Belanda ke 2. Terkadang beberapa cucu Dirman berpikir alangkah gagahnya wajah sang kakek jika tercetak di t-shirt denga gambar bintang seperti wajah pamannya sang Che lengkap dengan cerutu tapi Dirman rupanya tidak tertarik dengan hal-hal semacam itu, jika sablon wajah Che di t-shirt mungkin adalah lambang menyalanya api revolusioner bagi pemakainya, Dirman justru semakin ragu bahkan disini jangankan revolusi patriotisme pun tampaknya hanya sekedar teks usang lipatan buku-buku pelajaran sejarah cucunya, bagaimana tidak lha wong para penerusnya kemudian tampak lebih sibuk mengurus perkara menumpuk uang dan utang ketimbang memupuk tanah ini dengan cinta, lebih sibuk memperkaya diri ketimbang menyiraminya dengan kehormatan dan harga diri, Dirman juga tak yakin bahwa penerusnya akan mengingat dan menghargai setiap peluru yang berdesing bahkan hanya berjarak sekian inci dari jidatnya saat dirinya dan kawan-kawannya berjibaku mempertahankan setiap jengkal tanah ini dari sergapan anjing-anjing imperialis itu. Jika sekarang dia melihat wajah Che yang tercetak di t-shirt adalah komoditas kapital dan bukannya personifikasi revolusi dunia adalah karena sablon wajah itu kini sudah menjadi tanda yang dangkal, banal, trend dan tidak lagi mewakili cita-cita sejati dari revolusi itu sendiri dan kemudian berita lelang tanah kemarin ia bertambah yakin bahwa dengan begitu patriotisme adalah sesuatu yang murah sebuah komoditas yang bisa dibeli dengan sekian miliar rupiah dan bukan lagi sebagai inspirasi bahwa tanah ini bukan sekedar hadiah undian permen cicak sedangkan desingan peluru dan pecahan mortir yang menancap di jasad saudara-saudaranya hanyalah tinggal romantisme cengeng yang harus mulai dilupakan, kemudian dia mulai mengingat Che yang dengan sakit asmanya dia mampu merobohkan Batista dan dengan terkekeh Dirman mengingat sakit paru-parunya sehingga dia tidak menghisap cerutu seperti Che yang nekat meskipun dia tahu resikonya kemudian kesamaan usia saat mereka sama-sama memimpin sebuah pasukan untuk sebuah perubahan besar di usia paruh 30 an adalah sebuah prestasi yang remeh bagi generasi penerusnya dibanding sebuah group band cemen yang memakai t-shirt bergambar Che yang mendadak ngetop yang digandrungi cucunya...tapi ia merasa Che masih sedikit lebih beruntung dengan t-shirt bergambar wajahnya paling tidak para pewaris tahta di negara asalnya masih sedikit mengingatnya entah dengan atau tanpa kedalaman makna dan Sierra Maestra kini telah menjadi sebuah tujuan wisata yang cukup terkemuka sekali lagi baik dengan ataupun tanpa kedalaman makna revolusi yang mencatat sejarahnya...
....tapi Dirman sadar ini bukanlah pegunungan Sierra Maestra ini hanyalah sebuah bukit seharga 40 M dengan suhu rata-rata 20`C

Dhidhik Danardhono
Southcoast.winter.2010

Rabu, 07 Juli 2010

4 Juli

Amerika adalah Amerika beserta segenap sejarahnya dari masa ke masa, mulai ketika Jefferson membaptis kelahirannya sekitar hampir duasetengah abad yang lampau melalui deklarasi kemerdekaannya pada kongres kontinental kedua pada 1776, saat itu tuan Jefferson boleh jadi seperti bung Karno kita yang penuh semangat pembebasan nan revolusioner melawan kolonialisme Belanda, menjadi demikian karena pada masa itu toh Britania Raya telah terlebih dahulu menjadi imperialis yang kekuasaannya sedemikian luasnya hingga di sekitar ujung Perang Dunia kedua , ada seorang Laksamana Inggris berkata “Didalam wilayah Britania Raya, matahari tidak pernah tenggelam“ karena sebelum sempat tenggelam sudah masuk lagi kedalam wilayah jajahannya yang lain termasuk didalamnya Amerika yang kala itu masih merupakan raksasa dalam tidur sebelum bangkit sebagai leviathan seperti wujudnya yang sekarang, sungguh sulit dibayangkan mengingat saat itu yang menguasainya adalah Britania Raya yang bahkan luasnya tak lebih besar dari pulau Jawa,bisa dikatakan Amerika dibangun dengan landasan semangat pembebasan dan kesetaraan hak mimpi Jefferson boleh jadi melampaui jamannya, namun untuk menjadi seperti hari ini tanah harapan tersebut harus melalui serangkaian sejarah panjang yang berdarah-darah, mungkin Jefferson lupa bahwa perang kemerdekaannya dilangsungkan dihalaman rumah orang, tentara yang dikomandoi Washington saling jagal dengan tentara Inggris ditanah para Indian yang sebagaimana nenek moyang kita dulu melihat dengan bengong bagaimana tentara Belanda dan Jepang saling todong didepan pintu, bagi mereka yang berkulit merah optimisme dan mimpi Amerika tak ubahnya iklan rongsokan yang tidak berarti, bagaimana tidak jika patok-patok tanah mereka menghujam telak di jidat para tetua mereka. Mimpi Amerika boleh setinggi langit ketika sejarah menuliskan pembebasan budak yang kerenanya Lincoln rela menggasak saudaranya sendiri, sekali lagi mimpi Amerika dikhianati ketika hari ini pembebasan adalah berarti pendudukan, tampaknya kini Amerika tak lagi berurusan dengan semangat mulia kesetaraan saat demokrasi berarti todongan senjata , dan inspirasi pembebasannya tinggal cerita berupa veto terhadap resolusi Palestina....
...ah seandainya saja Perancis tidak kalah perang melawan Inggris dan perdana menteri Inggris George Grenville tidak buka suara..dan The Stamp Act tidak perlu dikeluarkan (konon beban keuangan karena perluasan koloni paska kekalahan Perancis inilah yang menyebabkan Inggris menarik pajak dari kolonis di benua Amerika atas ide Grenville dan inilah cikal bakal perang kemerdekaan Amerika )...mungkin Amerika akan menulis sejarahnya yang lain, Anerika yang tidak merdeka, sejarah yang lebih manis?..ah seandainya saja dan 4 Juli tak akan berarti apa-apa...mungkin

...southcoast summer2010

Rabu, 09 Juni 2010

RELIGI..sebuah sudut visual alternatif

Religi-us



Berupaya memaknai religiusitas secara lebih luas dari sudut karya visual. Karya seni visual yang merupakan sudut pandang yang tentu saja lebih cenderung bersifat subyektif memungkinkan munculnya interpretasi dan pembacaan yang lebih beragam dalam rangka memberikan kontribusi terhadap keragaman seni visual itu sendiri. Religius mengutip Abdul Hadi WM memiliki makna mengikat diri yang mana dalam kata tersebut juga mengandung makna kedekatan, penyerahan dan ketaatan. Dalam paradigma umum religiusitas selalu dikaitkan dengan agam dan keyakinan tertentu, hal yang sulit dipungkiri mengingat agama memberikan tuntunan mengenai “jalan” penyerahan diri kepada Yang Satu, Yang Maha Esa dan disini religius merupakan predikat yang kemudian melekat ketika seseorang berupaya melakukan proses pendekatan diri kepada penciptanya. Religius kemudian lebih cenderung berkaitan dengan hal-hal yang transenden yang justru dari sinilah Religi-us hendak membawa religiusitas kearah yang lebih bersifat visual atau lebih dekat ke wilayah yang imanen tanpa pretensi untuk kemudian mendudukkannya pada wilayah yang dangkal namun lebih sebagai upaya untuk memberikan makna baru tanpa kehilangan pijakan transendennya, disini religiusitas secara personal dan segenap pemahamannya kemudian menjadi titik tolak dalam menghasilkan sebuah karya yang diyakini berangkat dari hal ikhwal spiritualitas seseorang dalam aktivitas hidup dan prosesnya ketika harus dituangkan sebagai sebuah akspresi karya seni. Walaupun begitu Religi-us tak hendak menariknya kewilayah yang lebih sempit semisal agama walaupun disini faktor agama dan kepercayaan perupa tak dapat dikesampingkan begitu saja namun sebisa mungkin memberikan alternatif yang lebih luas dan berragam dalam bentuk visual.

Kalau transendensi merupakan peleburan terhadap yang formal menuju yang spiritual(hakikat), maka melalui karya-karya yang tampil berupaya memetakan baik proses menuju maupun mengenai benturan-benturan yang muncul dalam upaya menuju yang spiritual tersebut karena manusia memang bersifat spiritual..Religi-us juga berupaya memandang hakikat individu manusia secara spiritual dan sekaligus universal, sebuah ziarah kecil menuju kesemestaan dalam diri sendiri…religi of us...

Sabtu, 05 Juni 2010

TENTANG JALAN

Kami tidak begitu akrab sebenarnya, begitu munafik jika kami berkata bahwa kami adalah yang paling
mengerti tentang seluk-beluk setiap sudutnya beserta apa yang sekiranya paling baik dan pantas
berada disana, adalah omong kosong jika kami lantas mengklaim sebagai yang paling berhak untuk
memutuskan pola-pola seperti apa yang sebenarnya harus berlaku didalamnya. Tapi kami tak dapat
dengan mudah dipisahkan dan dicerabut begitu saja dari sana karena kami dipeluk oleh semangatnya
yang selalu memanggil kami untuk selalu lebih peduli akan setiap tarikan nafasnya yang kian sesak oleh
emisi karbon belakangan ini, juga merasa turut terpanggil untuk mewarnai setiap jengkal tanahnya
beserta riuh pewacanaan yang menyertainya sesuai dengan kapasitas kami tentunya.

Tak seorangpun berani memastikan selain menduga-duga dengan sedikit berspekulasi serta
membumbuinya dengan mitos-mitos dari negeri seberang tentang siapa yang memulai serangkaian
dialog panjang ini, dialog-dialog sunyi yang selalu nyaring berteriak melalui sudut jalan kota ini yang
seingat kami sejak dasawarsa terakhir ini mulai penuh bertabur nyala neon sign dan warna kelabu mono
oksida yang akhir-akhir ini semakin berwarna gelap sebagai konsekuensi (logis?) percepatan laju industri
kapital raksasa, serta hampir membabat habis kenangan kami tentang ramahnya gelatik di perempatan
yang sering kami singgahi. Kemudian sepanjang ingatan kami pula separuh waktu kemudian tembok-
tembok kota ini menjadi sedemikian genitnya merayu bahkan untuk sekedar dilecehkan secara artistik
setelah sebelumnya dahulu hanya menjadi tempat singgah keisengan para gali dikota kami yng selalu
menorehkan tanda-tanda keberadaan sebagaimana harimau mengencingi wilayahnya, merekakah yang
memulai? Hmmm sulit memebenarkannya karena merekapun tak merasa perlu untuk meramaikan dialog
ini lebih lanjut apalagi kini terkadang bahasanya pun tak kami mengerti selain kami acu lewat dunia
maya, karena bahkan pak guru disekolah kami pun tak mampu menerjemahkan serangkaian tanda-tanda
yang kami utarakan. Segera saja kami menyadari semakin sempitnya ruang – waktu dan semakin
pendeknya jarak tiap sudut bumi telah turut memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap
perubahan wajah kota yang kami tinggali. Perwajahannya mulai menjadi sama dan sebagai akibatnya
kami semakin sulit menemukan perbedaan antar sudutnya, tembok kami kini penuh dengan centang
perenang berbagai kepentingan dan kini semakin riuh ketika kesenian kemudian merasa perlu untuk mewujud disana dan dengan segera memiliki sekian banyak jamaah yang mengimaninya, mendadak
kawan-kawan kami menjadi beringas ketika kami mencoba menyapa mungkin karena mereka termasuk
dalam barisan jamaah itu dan kami tidak atau mungkin setidaknya belum mampu ditaklukkan semudah
mereka, kami tidak tahu dengan pasti. Mereka mendadak menjadi garang ketika kami mencoba
menumpahkan suara kami juga ditembok-tembok itu, kami melihat mereka sibuk memindahkan
tanda-tanda bernafaskan wacana seberang tanpa akar kedalam tanah-tanah dikota yang kami tinggali,
mereka mencabutnya begitu saja serta kemudian mencoba menanamnya disini. Entah kepentingan apa
yang mereka imani sehingga mendadak merasa memiliki hak veto untuk menentukan apa-apa yang
seharusnya ada dan tidak, setelah sebelumnya kami mulai mual dengan neon sign yang memakan lebih
banyak cadangan energi di negeri kami sehingga perusahaan listrik merasa perlu untuk menyerukan penghematan, kini kami juga mulai sesak dengan betuk perwajahan baru dikota kami yang semakin
terasa homogen dan seakan kami telah berada di New York yang bising atau Los Angeles yang selalu
dinamis. Kini kami manya menemui wajah-wajah yang sama yang beku terpaku oleh keseragaman setiap
kali kami berusaha menyapa, ah seandainya saja kami juga bias mengikuti bait-bait rima berirama cepat
itu dan menyuntikkannya kedalam tubuh kami dengan cara menyanyikannya dalam satu tarikan nafas
panjang, mungkin kami juga akan paham tentang semua ini, tapi mungkin kami tak akan pernah
sepaham karena kami tidak menginginkannya sebab bahkan kami juga belumlah fasah dengan kidung
asmaradana, atau pangkur yang sering ditembangkan bapak atau ibu menjelang kami tidur dulu…hmm
atau mungkin sekarang mereka juga sudah lupa. Oleh karenanya kami tetap memilih untuk tetap berada
di jalan ini dan bukan menepi karena kami merasa bahwa panggilan sudut-sudut kota kami untuk
memberikan warna lain semakin kencang terdengar, walaupun kami sadar bahwa denting logam kaleng
aerosol itu akan selalu memekakkan telinga, toh kami tetap merasa bahwa benih yang tertanam ini
harus punya akar agar kelak angina bertiup tidak patah dahannya dan kemudian menimpa segala
sesuatu yang pernah kita miliki, sebelum semuanya hilang ditelan hiruk pikuk neon sign dan deru kota ini.

…….tetap saja kami merasa asing di jalanan ini.