Rabu, 09 Juni 2010

RELIGI..sebuah sudut visual alternatif

Religi-us



Berupaya memaknai religiusitas secara lebih luas dari sudut karya visual. Karya seni visual yang merupakan sudut pandang yang tentu saja lebih cenderung bersifat subyektif memungkinkan munculnya interpretasi dan pembacaan yang lebih beragam dalam rangka memberikan kontribusi terhadap keragaman seni visual itu sendiri. Religius mengutip Abdul Hadi WM memiliki makna mengikat diri yang mana dalam kata tersebut juga mengandung makna kedekatan, penyerahan dan ketaatan. Dalam paradigma umum religiusitas selalu dikaitkan dengan agam dan keyakinan tertentu, hal yang sulit dipungkiri mengingat agama memberikan tuntunan mengenai “jalan” penyerahan diri kepada Yang Satu, Yang Maha Esa dan disini religius merupakan predikat yang kemudian melekat ketika seseorang berupaya melakukan proses pendekatan diri kepada penciptanya. Religius kemudian lebih cenderung berkaitan dengan hal-hal yang transenden yang justru dari sinilah Religi-us hendak membawa religiusitas kearah yang lebih bersifat visual atau lebih dekat ke wilayah yang imanen tanpa pretensi untuk kemudian mendudukkannya pada wilayah yang dangkal namun lebih sebagai upaya untuk memberikan makna baru tanpa kehilangan pijakan transendennya, disini religiusitas secara personal dan segenap pemahamannya kemudian menjadi titik tolak dalam menghasilkan sebuah karya yang diyakini berangkat dari hal ikhwal spiritualitas seseorang dalam aktivitas hidup dan prosesnya ketika harus dituangkan sebagai sebuah akspresi karya seni. Walaupun begitu Religi-us tak hendak menariknya kewilayah yang lebih sempit semisal agama walaupun disini faktor agama dan kepercayaan perupa tak dapat dikesampingkan begitu saja namun sebisa mungkin memberikan alternatif yang lebih luas dan berragam dalam bentuk visual.

Kalau transendensi merupakan peleburan terhadap yang formal menuju yang spiritual(hakikat), maka melalui karya-karya yang tampil berupaya memetakan baik proses menuju maupun mengenai benturan-benturan yang muncul dalam upaya menuju yang spiritual tersebut karena manusia memang bersifat spiritual..Religi-us juga berupaya memandang hakikat individu manusia secara spiritual dan sekaligus universal, sebuah ziarah kecil menuju kesemestaan dalam diri sendiri…religi of us...

Sabtu, 05 Juni 2010

TENTANG JALAN

Kami tidak begitu akrab sebenarnya, begitu munafik jika kami berkata bahwa kami adalah yang paling
mengerti tentang seluk-beluk setiap sudutnya beserta apa yang sekiranya paling baik dan pantas
berada disana, adalah omong kosong jika kami lantas mengklaim sebagai yang paling berhak untuk
memutuskan pola-pola seperti apa yang sebenarnya harus berlaku didalamnya. Tapi kami tak dapat
dengan mudah dipisahkan dan dicerabut begitu saja dari sana karena kami dipeluk oleh semangatnya
yang selalu memanggil kami untuk selalu lebih peduli akan setiap tarikan nafasnya yang kian sesak oleh
emisi karbon belakangan ini, juga merasa turut terpanggil untuk mewarnai setiap jengkal tanahnya
beserta riuh pewacanaan yang menyertainya sesuai dengan kapasitas kami tentunya.

Tak seorangpun berani memastikan selain menduga-duga dengan sedikit berspekulasi serta
membumbuinya dengan mitos-mitos dari negeri seberang tentang siapa yang memulai serangkaian
dialog panjang ini, dialog-dialog sunyi yang selalu nyaring berteriak melalui sudut jalan kota ini yang
seingat kami sejak dasawarsa terakhir ini mulai penuh bertabur nyala neon sign dan warna kelabu mono
oksida yang akhir-akhir ini semakin berwarna gelap sebagai konsekuensi (logis?) percepatan laju industri
kapital raksasa, serta hampir membabat habis kenangan kami tentang ramahnya gelatik di perempatan
yang sering kami singgahi. Kemudian sepanjang ingatan kami pula separuh waktu kemudian tembok-
tembok kota ini menjadi sedemikian genitnya merayu bahkan untuk sekedar dilecehkan secara artistik
setelah sebelumnya dahulu hanya menjadi tempat singgah keisengan para gali dikota kami yng selalu
menorehkan tanda-tanda keberadaan sebagaimana harimau mengencingi wilayahnya, merekakah yang
memulai? Hmmm sulit memebenarkannya karena merekapun tak merasa perlu untuk meramaikan dialog
ini lebih lanjut apalagi kini terkadang bahasanya pun tak kami mengerti selain kami acu lewat dunia
maya, karena bahkan pak guru disekolah kami pun tak mampu menerjemahkan serangkaian tanda-tanda
yang kami utarakan. Segera saja kami menyadari semakin sempitnya ruang – waktu dan semakin
pendeknya jarak tiap sudut bumi telah turut memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap
perubahan wajah kota yang kami tinggali. Perwajahannya mulai menjadi sama dan sebagai akibatnya
kami semakin sulit menemukan perbedaan antar sudutnya, tembok kami kini penuh dengan centang
perenang berbagai kepentingan dan kini semakin riuh ketika kesenian kemudian merasa perlu untuk mewujud disana dan dengan segera memiliki sekian banyak jamaah yang mengimaninya, mendadak
kawan-kawan kami menjadi beringas ketika kami mencoba menyapa mungkin karena mereka termasuk
dalam barisan jamaah itu dan kami tidak atau mungkin setidaknya belum mampu ditaklukkan semudah
mereka, kami tidak tahu dengan pasti. Mereka mendadak menjadi garang ketika kami mencoba
menumpahkan suara kami juga ditembok-tembok itu, kami melihat mereka sibuk memindahkan
tanda-tanda bernafaskan wacana seberang tanpa akar kedalam tanah-tanah dikota yang kami tinggali,
mereka mencabutnya begitu saja serta kemudian mencoba menanamnya disini. Entah kepentingan apa
yang mereka imani sehingga mendadak merasa memiliki hak veto untuk menentukan apa-apa yang
seharusnya ada dan tidak, setelah sebelumnya kami mulai mual dengan neon sign yang memakan lebih
banyak cadangan energi di negeri kami sehingga perusahaan listrik merasa perlu untuk menyerukan penghematan, kini kami juga mulai sesak dengan betuk perwajahan baru dikota kami yang semakin
terasa homogen dan seakan kami telah berada di New York yang bising atau Los Angeles yang selalu
dinamis. Kini kami manya menemui wajah-wajah yang sama yang beku terpaku oleh keseragaman setiap
kali kami berusaha menyapa, ah seandainya saja kami juga bias mengikuti bait-bait rima berirama cepat
itu dan menyuntikkannya kedalam tubuh kami dengan cara menyanyikannya dalam satu tarikan nafas
panjang, mungkin kami juga akan paham tentang semua ini, tapi mungkin kami tak akan pernah
sepaham karena kami tidak menginginkannya sebab bahkan kami juga belumlah fasah dengan kidung
asmaradana, atau pangkur yang sering ditembangkan bapak atau ibu menjelang kami tidur dulu…hmm
atau mungkin sekarang mereka juga sudah lupa. Oleh karenanya kami tetap memilih untuk tetap berada
di jalan ini dan bukan menepi karena kami merasa bahwa panggilan sudut-sudut kota kami untuk
memberikan warna lain semakin kencang terdengar, walaupun kami sadar bahwa denting logam kaleng
aerosol itu akan selalu memekakkan telinga, toh kami tetap merasa bahwa benih yang tertanam ini
harus punya akar agar kelak angina bertiup tidak patah dahannya dan kemudian menimpa segala
sesuatu yang pernah kita miliki, sebelum semuanya hilang ditelan hiruk pikuk neon sign dan deru kota ini.

…….tetap saja kami merasa asing di jalanan ini.