Minggu, 25 Juli 2010

SUDIRMAN DAN CHE

Dirman, Sudirman berwajah kuyu bak pegawai negeri tanggung bulan yang terpaksa mengingkari nuraninya, matanya nanar menatap kejauhan. Sejauh matanya memandang tampak lanskap luas menghijau yang sesekali diselingi semak, persawahan dan tegalan serta deretan rumah-rumah pepohonan pinus tumbuh dalam beberapa kelompok menjadikan tanah itu hampir bagaikan lukisan Van Gogh tentang pemandangan di Arles Perancis dengan pepohonan cemaranya yang terkenal. Seharusnya semua itu membuatnya tersenyum tapi tidak lagi karena beberapa waktu kemarin terdengar kabar buruk bahwa tanah ini dilelang, ya dan itu berarti kembali kapital berbicara melesakkan berbagai kemungkinan yang sebelumnya dianggap mustahil. Kemudian Dirman kembali teringat tanah ini dahulu begitu penuh inspirasi bahkan mungkin seperti Sierra Maestra dimana Guevara menyusun revolusinya seharusnya tanah ini lebih bermakna karena bahkan saat Che merencanakan 26 Julinya tanah ini telah lebih dulu melahirkan heroismenya dalam mengganyang imperialis semasa agresi Belanda ke 2. Terkadang beberapa cucu Dirman berpikir alangkah gagahnya wajah sang kakek jika tercetak di t-shirt denga gambar bintang seperti wajah pamannya sang Che lengkap dengan cerutu tapi Dirman rupanya tidak tertarik dengan hal-hal semacam itu, jika sablon wajah Che di t-shirt mungkin adalah lambang menyalanya api revolusioner bagi pemakainya, Dirman justru semakin ragu bahkan disini jangankan revolusi patriotisme pun tampaknya hanya sekedar teks usang lipatan buku-buku pelajaran sejarah cucunya, bagaimana tidak lha wong para penerusnya kemudian tampak lebih sibuk mengurus perkara menumpuk uang dan utang ketimbang memupuk tanah ini dengan cinta, lebih sibuk memperkaya diri ketimbang menyiraminya dengan kehormatan dan harga diri, Dirman juga tak yakin bahwa penerusnya akan mengingat dan menghargai setiap peluru yang berdesing bahkan hanya berjarak sekian inci dari jidatnya saat dirinya dan kawan-kawannya berjibaku mempertahankan setiap jengkal tanah ini dari sergapan anjing-anjing imperialis itu. Jika sekarang dia melihat wajah Che yang tercetak di t-shirt adalah komoditas kapital dan bukannya personifikasi revolusi dunia adalah karena sablon wajah itu kini sudah menjadi tanda yang dangkal, banal, trend dan tidak lagi mewakili cita-cita sejati dari revolusi itu sendiri dan kemudian berita lelang tanah kemarin ia bertambah yakin bahwa dengan begitu patriotisme adalah sesuatu yang murah sebuah komoditas yang bisa dibeli dengan sekian miliar rupiah dan bukan lagi sebagai inspirasi bahwa tanah ini bukan sekedar hadiah undian permen cicak sedangkan desingan peluru dan pecahan mortir yang menancap di jasad saudara-saudaranya hanyalah tinggal romantisme cengeng yang harus mulai dilupakan, kemudian dia mulai mengingat Che yang dengan sakit asmanya dia mampu merobohkan Batista dan dengan terkekeh Dirman mengingat sakit paru-parunya sehingga dia tidak menghisap cerutu seperti Che yang nekat meskipun dia tahu resikonya kemudian kesamaan usia saat mereka sama-sama memimpin sebuah pasukan untuk sebuah perubahan besar di usia paruh 30 an adalah sebuah prestasi yang remeh bagi generasi penerusnya dibanding sebuah group band cemen yang memakai t-shirt bergambar Che yang mendadak ngetop yang digandrungi cucunya...tapi ia merasa Che masih sedikit lebih beruntung dengan t-shirt bergambar wajahnya paling tidak para pewaris tahta di negara asalnya masih sedikit mengingatnya entah dengan atau tanpa kedalaman makna dan Sierra Maestra kini telah menjadi sebuah tujuan wisata yang cukup terkemuka sekali lagi baik dengan ataupun tanpa kedalaman makna revolusi yang mencatat sejarahnya...
....tapi Dirman sadar ini bukanlah pegunungan Sierra Maestra ini hanyalah sebuah bukit seharga 40 M dengan suhu rata-rata 20`C

Dhidhik Danardhono
Southcoast.winter.2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar